Jumat, 01 Februari 2008

Iman bil ghaib

Ketaqwaan – sebagaimana yg telah saya uraikan – memerlukan suatu usaha gigih/susah payah. Oleh karena itu difirmankan : “Hudallil muttaqiynal-ladziyna yu’minuwna bilghoiybi” (QS; Al Baqarah: 3-4).

Di dalamnya terdapat suatu usaha gigih/susah payah. Berbeda dengan kesaksian nyata, beriman kepada hal-hal yg ghaib itu memerlukan suatu usaha gigih. Jadi, bagi seorang mutaki, sampai batas tertentu diperlukan suatu usaha yg gigih/susah payah. Sebab ketika dia meraih derajat saleh, maka hal-hal yg ghaib itu sudah tidak menjadi ghaib lagi baginya. Karena di dalam diri seorang saleh mengalir sebuah “sungai” yg sampai kepada Tuhan. Dia menyaksikan Tuhan serta kecintaan-Nya melalui matanya sendiri. Yaitu : “Man kaana fiy haazihii a’maa fahuwa fiyl-aakhiroti a’maa” – “Dan barang siapa yg buta (ruhani) di dunia ini, niscaya ia akan buta juga di akhirat” (QS ; Al Israa’ : 73)

Dari sini nyata bahwa sebelum manusia memperoleh cahaya sepenuhnya di dunia ini, dia kapanpun tidak akan dapat menyaksikan Tuhan. Jadi, tugas seorang mutaki itu adalah senan tiasa menyiapkan ‘surma’ (celak) yg dapat menghindarkan turun/susutnya secara ruhani “air” yg dimilikinya. Kini nyatalah bahwa pada mula pertama seorang mutaki itu buta adanya.

Setelah melalui usaha gigih dan tazkiyah nafs (pensucian diri), dia pun meraih nur. Jadi, setelah mengalami gemblengan serta sudah menjadi saleh, maka tidak adalagi masalah ‘iman bil ghaib’, dan istilah susah payah pun sudah tidak ada lagi. Sebagaimana Rasul akram Muhammad saw, telah diberi kesempatan menyaksikan surga dan neraka dengan mata telanjang di dunia ini juga. Hal-hal yg harus diakui dalam corak iman bil ghaib bagi seorang mutaki, keseluruhannya telah disaksikan dengan nyata oleh beliau saw. Di dalam ayat ini diisyaratkan bahwa kalaulah seorang mutaki itu buta adanya dan menanggung perihnya susah payah/kegigihan, akan tetapi seorang yg (mencapai derajat) saleh telah berada di dalam sebuah ‘daarul aman’ (tempat yg aman). Dan tingkatan nafs-nya sudah mencapai nafs muthma’innah (jiwa yg tentram) Di dalam diri seorang mutaki berlaku kondisi iman bil ghaib. Dia berjalan dengan meraba-raba bagaikan orang buta. Dia tidak memperoleh khabar apapun, dan dia bersikap iman bil ghaib terhadap segala sesuatunya. Disitulah terletak ketulusannya. Dan sebagai imbalan dari ketulusannya itu Allah Ta’ala menjanjikan bahwa dia akan memperoleh keberhasilan. Uwlaaika humul muflihuwn – mereka itulah orang-orang yg berjaya (QS ; Al Baqarah :6)

(Malfuzhat jld 1, h. 28-29/MI)

Tidak ada komentar: